Gelombang Bencana: Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat dalam Darurat

- Redaksi

Senin, 15 Desember 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Gelombang Bencana: Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat dalam Darurat

Gelombang Bencana: Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat dalam Darurat

JAKARTA — Akhir November hingga pertengahan Desember 2025, beberapa provinsi di Pulau Sumatra diterjang rangkaian banjir bandang dan tanah longsor yang menelan ratusan — dan kini lebih dari seribu — korban jiwa. Bencana yang terjadi sangat cepat dan tersebar di wilayah pesisir serta dataran tinggi itu memaksa ratusan ribu warga mengungsi, merusak jaringan jalan dan jembatan, serta menimbulkan krisis logistik di banyak daerah terpencil.

Angka dan fakta penting (ringkasan)

  • Korban meninggal: Data BNPB/penyajian media nasional melaporkan korban tewas mencapai sekitar 1.016 jiwa akibat banjir bandang dan tanah longsor di Sumatra (data per 15 Desember 2025).
  • Wilayah terdampak utama: Provinsi yang paling parah terdampak adalah Aceh, Sumatera Utara (Sumut), dan Sumatera Barat (Sumbar) — dengan beberapa kabupaten di masing-masing provinsi yang mengalami kerusakan parah dan isolasi.
  • Pengungsi / terdampak: Laporan memperkirakan ratusan ribu hingga lebih dari 600 ribu pengungsi dan ratusan ribu rumah serta infrastruktur rusak, sehingga kebutuhan darurat sangat besar.
  • Orang hilang & gangguan layanan: Ratusan masih dilaporkan hilang; banyak wilayah sempat terputus komunikasi dan hanya bisa dijangkau lewat udara.

Kronologi singkat: bagaimana ini terjadi

Periode curah hujan ekstrim, yang dipicu oleh kondisi atmosfer regional pada akhir November 2025 — termasuk pengaruh siklon tropis (disebut dalam sejumlah laporan sebagai Siklon Senyar atau gangguan tropis besar) — meningkatkan intensitas hujan di kawasan barat laut Sumatra. Hujan lebat selama beberapa hari menyebabkan sungai meluap dan memicu banjir bandang, sementara lereng yang kehilangan tutupan vegetasi runtuh menjadi longsor di banyak lokasi. Kondisi ini diperparah oleh kerusakan lingkungan seperti penebangan hutan dan aktivitas tambang yang mengurangi kemampuan daerah hulu menahan aliran air.

Baca Juga:  Menteri Ekraf: UMKM Memperkuat Fondasi Ekonomi Nasional

Dampak kemanusiaan di lapangan

Di banyak kecamatan, rumah-rumah tersapu arus, ladang dan kebun tertimbun lumpur, dan infrastruktur publik seperti jembatan serta sekolah rusak berat. Evakuasi massal dilakukan di kota-kota pesisir dan lembah sungai; ribuan orang menumpuk di tenda-tenda darurat atau hunian sementara yang disiapkan pemerintah daerah. Laporan medis lapangan menunjukkan peningkatan kasus penyakit kulit, ISPA, dan gangguan pencernaan di antara pengungsi yang tinggal di fasilitas terdesak dan sanitasi terbatas.

Cerita warga memberikan gambaran manusia di balik angka: keluarga yang kehilangan rumah, petani yang kehilangan ladang dan ternak, anak-anak yang terputus sekolahnya, serta komunitas adat yang kehilangan akses ke wilayah ulayat mereka. Akses yang terputus berkepanjangan memperlambat distribusi bantuan dan pencarian korban.

Respon pemerintah dan kendala di lapangan

Pemerintah pusat mengerahkan pesawat angkut militer (termasuk C-130 dan pesawat besar lain) serta helikopter untuk mengangkut bantuan dan tim SAR ke daerah-daerah yang terisolir. Namun permintaan agar kejadian ini ditetapkan sebagai bencana nasional mendapat perdebatan: beberapa pihak di DPR dan organisasi kemanusiaan mendesak perubahan status agar alur bantuan dan sumber daya dapat ditingkatkan, sementara BNPB pada beberapa titik menilai penanganan masih berada pada skala provinsi/daerah.

Kendala besar yang dihadapi tim tanggap darurat meliputi:

  • Jalan dan jembatan putus sehingga logistik harus lewat udara atau dengan cara manual;
  • Keterbatasan alat berat untuk membersihkan material longsor di lokasi terpencil;
  • Kepadatan dan kondisi hunian sementara yang memicu penyakit menular;
  • Tantangan identifikasi jenazah dan pencatatan korban karena kondisi medan dan administrasi.

Penyebab struktural: lingkungan, tata guna lahan, dan iklim

Para pakar lingkungan yang diwawancarai media lokal menyebut kombinasi antara ekstremitas curah hujan (dipengaruhi fenomena atmosfer tropis) dan kerusakan lingkungan sebagai pemicu utama besarnya dampak. Di beberapa wilayah, bukaan hutan untuk pertanian, tambang, atau penebangan kayu ilegal mengurangi kekuatan lereng menahan aliran air sehingga ketika hujan deras datang, risiko longsor dan banjir bandang meningkat. Analisis awal oleh sejumlah lembaga NGO dan pengamat lingkungan memperingatkan bahwa tanpa perubahan tata kelola hutan dan penataan ruang yang ketat, kejadian serupa bisa terulang dengan intensitas tinggi.

Baca Juga:  Menteri Ekraf: UMKM Memperkuat Fondasi Ekonomi Nasional

Apa kata warga dan tokoh lokal

Warga di daerah terdampak mengeluhkan lambatnya informasi dan distribusi bahan pokok selama masa awal tanggap darurat. Sementara itu tokoh daerah dan DPR mendesak penetapan status bencana nasional agar sumber daya tambahan (termasuk kemungkinan bantuan asing) dapat masuk lebih cepat dan koordinasi menjadi satu pintu. Beberapa LSM juga menekankan pentingnya pemulihan jangka panjang yang menyertakan rehabilitasi lingkungan dan program pemulihan mata pencaharian.

Pandangan ahli: dari darurat ke mitigasi jangka panjang

Pakar klimatologi dan geografi menegaskan bahwa kejadian ekstrem seperti ini akan menjadi lebih sering dan intens seiring perubahan iklim global. Namun, kerentanan lokal ditentukan oleh kebijakan penggunaan lahan dan efektivitas tata kelola sumber daya alam. Rekomendasi yang sering muncul di media dan pernyataan publik ahli meliputi:

  1. Percepatan reboisasi dan rehabilitasi hutan hulu untuk mengurangi aliran permukaan.
  2. Tata ruang yang ketat dan penegakan hukum terhadap penebangan ilegal.
  3. Peningkatan kapasitas infrastruktur tanggap darurat (jalur evakuasi, gudang logistik, sistem peringatan dini).
  4. Program pemulihan ekonomi lokal yang sensitif terhadap budaya dan mata pencaharian.

Gambaran ke depan: pemulihan yang panjang dan mahal

Pemulihan pascabencana ini bukan hanya soal membangun kembali rumah dan jembatan. Ia memerlukan rekonstruksi mata pencaharian, perbaikan sistem sanitasi dan layanan kesehatan, validasi klaim tanah dan administrasi untuk memastikan bantuan tepat sasaran, serta investasi besar untuk mengurangi kerentanan di masa depan. Estimasi biaya belum final karena penilaian kerusakan infrastruktur dan ekonomi masih berjalan di lapangan. Media melaporkan kebutuhan dana darurat, dukungan logistik, serta dorongan agar penanganan menjadi terkoordinasi dan berkelanjutan.

Kesimpulan — pesan dari lapangan

Bencana Sumatra akhir 2025 adalah peringatan keras: kombinasi cuaca ekstrem dan kerentanan lingkungan dapat mengakibatkan kerusakan luar biasa dalam waktu singkat. Penanganan darurat yang cepat menyelamatkan nyawa, namun pencegahan jangka panjang—melalui perbaikan tata kelola lingkungan, infrastruktur tahan bencana, dan kesiapsiagaan komunitas—adalah kunci untuk mengurangi tragedi serupa di masa depan. Komunitas internasional, pemerintah, dan masyarakat sipil kini dihadapkan pada tugas berat: memulihkan hidup warga yang kehilangan segalanya dan membangun kembali wilayah yang lebih tangguh secara ekologis dan sosial.

Baca Juga:  Menteri Ekraf: UMKM Memperkuat Fondasi Ekonomi Nasional

Penulis : Tim Info Kini

Editor : Redaksi

Berita Terbaru

Menteri Ekraf Teuku Riefky (tiga kiri) saat membuka Festival dan Launching UMKM Mitra Adhyaksa yang digelar di Gedung Sesat Agung Bumi Sai Wawai, Lampung, pada Jumat (12/12/2025). (ANTARA/HO-Kementerian Ekraf)

EKONOMI

Menteri Ekraf: UMKM Memperkuat Fondasi Ekonomi Nasional

Senin, 15 Des 2025 - 06:17 WITA